YANG MENARIK PERHATIAN

Tuesday, December 13, 2011

UN Tidak Memberi Jaminan Peningkatan Mutu Pendidikan

Pengamat pendidikan Sulawesi Tenggara Prof Dr Abdullah Alhadza menilai, penyelenggaraan ujian nasional (UN) yang setiap tahun pelaksanaan menelan dana ratusan miliar rupiah, gagal meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pelaksanaan UN, menurutnya, membuat siswa dan guru mencari peluang untuk berbuat curang. "Setiap kali penyelenggaraan UN, para siswa hanya sibuk mengejar bocoran soal sedangkan guru aktif mencari siasat memfasilitasi siswa berbuat curang agar bisa mendapatkan nilai bagus dan lulus UN," kata Abdullah, di Kendari, Selasa (13/12/2011). Ia mengatakan, UN yang menyedot anggaran negara sekitar Rp600 miliar setiap tahun, hanya menghasilkan kualitas ketidakjujuran anak bangsa.
"Setiap kali penyelenggaraan UN, ribuan polisi dikerahkan mengamankan naskah dan jalannya UN, ribuan dosen diterjunkan menjadi pengawas independen, ratusan bupati dan wali kota serta puluhan gubernur turun memantau ke ruangan ujian. Namun hasilnya, hanya sedikit sekolah yang kurang melakukan kecurangan dalam UN," ujarnya.
Menurut Abdullah, dari 33 provinsi di seluruh Indonesia, hanya ada tiga provinsi yang sedikit melakukan kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Selebihnya, dikategorikan hitam atau terjadi kebocoran soal UN. "Data itu, merupakan hasil penelitian Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010," kata Abdullah. Ia mengatakan, tujuan pemerintah menyelenggarakan UN adalah untuk memotivasi anak agar giat belajar dan mendorong guru lebih aktif mengajar. Dengan begitu, tujuan pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan dapat tercapai. Namun, yang terjadi, kata dia, anak-anak didik malas belajar tapi rajin mengejar bocoran soal, sedangkan guru bukan mencari teknik mengajar yang efektif melainkan proaktif mencari siasat untuk membocorkan soal. "Realita ini terjadi, karena UN selama ini dianggap sebagai kewajiban yang harus diikuti oleh setiap anak didik," katanya. Abdullah berpendapat, seharusnya UN bukanlah sebuah kewajiban tetapi hak bagi para peserta didik untuk mendapatkan pengakuan dari negara bahwa mereka telah lulus ujian nasional. "Kalau paradigma ini yang dipakai, dijamin tidak ada akan lagi anak didik yang kasak kusuk mencari bocoran soal dan guru yang sibuk membantu murid mendapatkan kunci jawaban saat UN digelar," ujar dia, Alternatif yang menurutnya bisa dilakukan, murid-murid diperbolehkan tidak mengikuti ujian nasional. Mereka bis mengikuti ujian sekolah yang diselenggarakan oleh pihak sekolah di masing-masing provinsi. Konsekuensinya kata dia, ijazah yang dimiliki mereka yang ujian sekolah atau lokal, hanya diakui tingkat lokal, tidak biasa diakui secara nasional. "Untuk mendapatkan pengakuan secara nasional, mereka dapat mengikuti ujian nasional kapan saja mereka mau. Itu solusi untuk mencegah ketidakjujuran para siswa dan guru pada setiap penyelenggaraan UN menurut saya," katanya. (KOMPAS.com)

Masukkan email sahabat untuk berlangganan artikel

No comments: