Fakta sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai secara nyata dari adanya kecerdasan dari sejumlah warga dan kecerdasan itu dapat berfungsi setelah disentuh oleh pendidikan. Kita mestinya meyakini bahwa kecerdasan bangsa adalah aset utama bangsa untuk melestarikan bangsa itu sendiri. Apapun yang dimiliki oleh negara, kekayaan alam, sosial, budaya misalnya, tidak akan ada artinya jika pengelolaannya tidak dilandasi kecerdasan. Demikian pula, apa pun tujuan mulia bangsa ini, tidak akan tercapai dengan kecerdasan. Dan kecerdasan hanya akan tercapai dengan adanya pendidikan yang baik. Lalu, bagaimanakah sebenarnya wajah pendidikan kita mulai dari era proklamasi sampai sekarang dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa?
Keharusan untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang baik telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka melaksanakan dan mengaktualisasikan pesan Undang-Undang, pemerintah menyediakan perangkat institusi untuk merencanakan dan melaksanakan program-program pendidikan nasional yaitu departemen pendidikan. Namun, sampai sejauh ini, banyak ahli yang menilai proses pendidikan di negara ini sebagai berikut (1) Sistem pendidikan yang diharapkan berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ternyata membawa tragedi, bukannya semakin cerdas tapi tetap bodoh; (2) Sistem pendidikan yang seyogyanya bisa membebaskan anak-anak menjadi manusia utuh bermartabat justru menjadi alat penyiksa; (3) Sistem pendidikan yang ada telah tergilas atau hanyut oleh kekuatan-kekuatan atau sistem-sistem yang lain sehingga secara pasti tidak memungkinkan arah perjalanannya dapat mencapai tujuan pendidikan; (4) Pelaksanaan pendidikan belum cukup demokratis; (5) Terjadinya Quo Vadis dalam pelaksanaa pencapaian tujuan pendidikan nasional Indonesia.
Bila kita simpulkan secara lebih sederhana, masalah-masalah pendidikan yang masih menghimpit negara ini adalah:
Pemerataan. Saat ini, jika kita lihat, lembaga-lembaga sekolah telah tersebar mulai dari kota-kota besar sampai pedesaan, namun yang dimaksudkan dengan pemerataan disini adalah kondisi pembelajarannya. Sampai saat ini, kurikulum lembaga sekolah masuh terpusat (diatur) oleh pemerintah. Dalam artian, daerah tidak punya kuasa untuk menentukan pendidikan yang ada di wilayahnya. Akibatnya, kurikulum sekolah lebih banyak tidak tepat guna karena tidak sesuai dengan kondisi di masing-masing daerah.
Mutu pendidikan. Dr. Wara Kushartanti menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia lebih memicu fungsi otak kiri, sementara otak kanan yang berurusan dengan musik, kreativitas, kemampuan menggambar, imajinai kreatif, belum secara proporsional dikembangkan. Kondisi seperti ini menjadikan pendidikan hanya berkutat pada domain kognitif, sementara domain-domain lainnya terabaikan. Inilah yang menjadikan lulusan sekolah tidak memiliki cukup skill untuk hidup mandiri. Sementara itu Ki Supriyoko menganggap pendidikan Indonesia kehilangan roh pendidikan karena secara tidak langsung menekankan otak kanan secara tidak langsung merenggut kreativitas.
Efisiensi. Tujuan pendidikan dengan jelas telah termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, jika kita amati fakta yang ada, pendidikan lebih banyak diselimuti oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Bisa kita katakan, setiap ganti pemimpin, maka ganti pula arah kebijakan pendidikan. Kalau sudah seperti ini, kapan tujuan pendidikan secara nasional akan tercapai?
Relevansi. Pendidikan yang tinggi ternyata tidak menjamin keberhasilan dalam dunia kerja. Itulah yang terjadi dalam dunia pendidikan di negara kita ini. Tak dapat disangkal, setiap tahun kita memiliki ribuan bahkan ratusan ribu lulusan, mulai dari tingkat sekolah sampai universitas, namun hanya sedikit sekali yang bisa tertampung dalam dunia kerja. Selebihnya (sebagian besarnya), terjangkiti penyakit nganggur. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya relevansi sistem pendidikan sekolah kita jika dikaitkan dengan dunia kerja. Memang, tidak elok kalau kita hanya menilai keberhasilan pendidikan hanya dari tinjauan ini, tapi setidaknya ini menjadi indikasi bahwa sekolah kita tidak mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni.
Kedepan, pengembangan sistem pendidikan nasional akan menghadapi masalah yang lebih mendasar. Namun, upaya harus dimulai, dengan memanfaatkan pendekatan futuristic-fundamental-scientific. Prinsip futuristic akan mengarahkan kepada kondisi masa depan bangsa, fundamental akan menjamin agar tidak selalu berubah karena hal-hal yang tidak mendasar, dan scientific akan menjamin akuntabilitas dan akseptabilitas program karena aspek scientific menjamian adanya objektivitas dari kenyataan dan kebenaran yang ditelaahnya.
(http://mutiarabirusamudra.blogdetik.com/wajah-pendidikan-dulu-sampai-sekarang/)
No comments:
Post a Comment