Seolah tak ada habisnya, berbagai bencana terus melanda negeri ini, banjir,tanah longsor, gempa bumi dan tsunami, atau pun letusan gunung berapi.
Tanggapan manusia pun bermacam-macam. Para pakar geologi mengatakan hal ini adalah fenomena alam. Paranormal mengambinghitamkan makhluk-makhluk halus penunggu tempat-tempat yang dilanda bencana. Dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan dosa-dosa manusia.
Fenomena Alam atau Teguran?
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rûm: 41).
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl: 112).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah bersabda, “Wahai, Kaum Muhajirin! Sesungguhnya ada lima perkara yang aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menemuinya.
(1) Tidaklah muncul perbuatan keji (zina) pada suatu kaum hingga mereka melakukannya secara terang-terangan, kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka wabah dan pelbagai penyakit (thâ’ûn) yang belum pernah menimpa kepada orang-orang sebelum mereka.
(2) Tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangannya, kecuali niscaya mereka akan ditimpa dengan tandusnya tanah, paceklik sepanjang tahun, serta berkuasanya penguasa-penguasa yang zhalim.
(3) Dan tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat hartanya, kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka bencana dengan tidak diturunkannya hujan dari atas langit kepada mereka. Dan kalaulah bukan karena binatang ternak, niscaya Allah akan menahan turunnya hujan selama-lamanya.
(4) Dan tidaklah suatu kaum mengingkari janji antara mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, melainkan Allah akan mendatangkan musuh-musuh yang bukan dari golongan mereka, lalu merampas sebagian harta yang ada di tangan mereka.
(5) Dan selama pemimpin-pemimpin mereka tidak berhukum dengan Kitabullah dan tidak memilih yang terbaik dari apa yang Allah turunkan kecuali Allah turunkan kepada mereka kesengsaraan (perpecahan) di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah, no. 4019, dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani).
Kebanyakan orang memandang pelbagai macam musibah yang menimpa manusia hanya dengan logika berpikir yang bersifat rasional, terlepas dari tuntutan Wahyu Ilahi. Sehingga solusi yang diberikan tidak mengarah pada penghilangan sebab-sebab utama, yaitu kemaksiatan umat manusia kepada Allah Subhaanahu Wata’ala Sang Pencipta Jagat Raya, yang di tangan-Nyalah seluruh kebaikan, dan kepada-Nyalah dikembalikan segala urusan.
Antara Ketaatan dan Berkah Alam
Apabila penduduk suatu negeri taat kepada Allah Subhaanahu Wata’ala, maka keberkahan akan melimpah kepada mereka. Misalnya pada jaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, alam begitu bersahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan para sahabat, sehingga gunung-gunung sangat mencintai mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda ketika melihat bukit Uhud seraya menunjuk padanya, “Bukit ini mencintai kami dan kami pun mencintainya. “ (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan makanan yang dinikmati oleh para sahabat ikut bertasbih sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, “Kami pernah mendengarkan tasbih dari makanan yang sedang dimakan.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu juga disebutkan bahwa para sahabat mendengarkan tasbih batu-batu kerikil di tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Demikian pula dengan batang kayu yang pernah dijadikan mimbar oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menangis ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam meninggalkannya.
Demikianlah beberapa contoh respon yang diberikan oleh alam kepada orang-orang yang taat kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Sangat berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada orang-orang yang durhaka. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya, “Maka langit dan bumi tidak menangisi (kepergian) mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh.” (QS. Ad-Dukhân: 29).
Sebaliknya, kata Ibnu Abbas—رضي الله عنهما, orang mukmin kepergiannya ditangisi oleh langit dan bumi. Ditangisi oleh langit, karena orang yang melakukan amal shaleh, maka amalannya akan naik ke langit dan akan diterima oleh langit. Sebagaimana bumi pun menangis ketika ditinggalkan oleh orang-orang yang shaleh karena tidak dipijak lagi untuk melakukan ketaatan. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, kaum Muslimin memberikan suasana bersahabat dengan alam, maka alam pun memberikan sikap yang sama, memberikan rahmat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan kepada para sahabatnya. Sebaliknya, jika penduduk suatu negeri tidak taat kepada Allah, maka alam ini bisa menjadi tentara-tentara Allah untuk membinasakan penduduknya. Sebagaimana pada zaman Fir’aun, kutu, katak, bahkan hewan-hewan lemah pun bisa menjadi sebab untuk hancurnya pengikut-pengikut Fir’aun.
Jangan Merasa Aman!
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, Artinya, “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu dhuha ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’râf: 97-99).
Inilah peringatan bagi mereka yang masih terus bergelimang dengan kemaksiatan, yang tidak lagi memiliki rasa malu bahkan bangga dengan dosa-dosanya, yang membusungkan dada menantang datangnya adzab Allah, bahwasanya tak seorang pun di antara kita yang patut merasa aman dari adzab Allah yang teramat pedih.
Pelajaran dari Umat-umat Terdahulu
Karena maksiatlah, Allah menumpahkan air dari langit, memuntahkannya ke bumi, hingga mereka, umat Nabi Nuh Alaihissalam nyang kafir dan durhaka itu ditenggelamkan dan binasa (lihat QS. Al A’râf: 63-64).
Karena maksiatlah, Allah menghancurkan kaum Nabi Hud Alaihissalam. Ditumpas habis tanpa sisa (lihat QS. Asy-Syu’arâ’: 139).
Kalau bukan karena maksiat, kaum Tsamud tidak akan menelan mentah-mentah adzab yang sangat pedih (ihat QS. Al A’râf: 77-78).
Karena maksiat pulalah, kaum Nabi Luth Alaihissalam beserta tujuh kotanya hancur berkeping-keping. Kota mereka diangkat setinggi-tingginya ke atas langit dengan cepat, lantas dibenturkan ke bumi dalam keadaan yang di atas ke bawah (dibalik) lalu dihujani bebatuan dari sijjîl (lihat QS. Hud: 82-83).
Negeri Fir’aun dilanda topan kencang, hama belalang, tersebarnya kutu, merajalelanya kodok dan menyebarnya darah; pun karena maksiat. Lalu karena mereka tidak mengubah sikapnya, Allah Subhaanahu Wata’ala menenggelamkan mereka di lautan (lihat QS. Al A’râf: 133-136).
Bangsa Yahudi bertubi-tubi mendapatkan laknat dan adzab. Mereka menyakiti, bahkan membunuh beberapa nabi mereka, maka pantas sekali kalau Allah mengubah mereka menjadi binatang yang paling keji di dunia, mereka diubah menjadi kera dan babi, karena tabiat mereka memang seperti kera dan babi.
Kaum-kaum terdahulu Allah hancurkan dan luluhlantakkan disebabkan oleh satu dua jenis kemungkaran yang dikepalai oleh dosa kesyirikan. Sekarang, bagaimana dengan kita? Apa yang kita saksikan dan alami sekarang ini di tempat kita, di lingkungan kita, di kota kita, dan bahkan di seantero negeri kita? Kesyirikan yang merupakan biang malapetaka dunia dan akhirat kini seolah telah menjadi kebutuhan. Berapa banyak kita dapati media massa yang menjajakan kesyirikan, ulama-ulama sesat menyeru umat kepada perbuatan syirik dengan dibungkus sedemikian rupa untuk menyesatkan umat. Demikian pula dengan bid’ah dan maksiat, terjadi di mana-mana.
Bencana, Untuk Semua
Muncul pertanyaan, “Mengapa harus daerah ini, atau kota ini, atau negara ini yang ditimpa musibah, padahal masih banyak daerah-daerah lain yang lebih pantas untuk diadzab oleh Allah? Bukankah di sana ada orang-orang shaleh dan anak-anak kecil yang tidak berdosa?
Jawabannya: Allah Subhaanahu Wata’ala telah mengingatkan bahwa adzab-Nya tidak khusus menimpa orang-orang zhalim di antara kita. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya, “Dan peliharalah dirimu dari siksa yang tidak khusus menimpa orang-orang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” (QS. Al Anfâl: 25).
Ummu Salamah—radhiyallahu ‘anha—menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika timbul maksiat pada umatku, maka Allah akan menyebarkan adzab kepada mereka. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah tidak ada waktu itu orang-orang shaleh?” Beliau menjawab, “Ada.” Aku bertanya lagi, “Apa yang Allah akan perbuat kepada mereka?” Beliau menjawab, “Allah akan menimpakan kepada mereka adzab sebagaimana ditimpakan kepada orang-orang yang melakukan maksiat, kemudian mereka akan mendapatkan ampunan dan keridhaan dari Rabb-nya.” (HR. Ahmad, Al Haitsami mengatakan bahwa semua perawi hadits ini terpercaya).
Ke Mana Mengadu?
Orang-orang musyrik pada zaman dulu yang terkenal dengan pembangkangan mereka kepada Allah, ketika ditimpa suatu musibah, maka mereka memurnikan ketaatan mereka kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Meskipun ketika musibah tersebut berlalu, mereka kembali ingkar dan kembali kepada kesyirikan mereka. Sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala, artinya, “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) menyekutukan (Allah).” (QS. Al ‘Ankabût: 65).
Itu kondisi orang-orang jaihiliyah tempo dulu. Bandingkan dengan keadaan manusia “modern” sekarang ini, ketika mereka merasa akan ditimpa suatu bencana, maka bukannya mengikhlaskan ketaatan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala, justru mereka semakin tenggelam dalam kesyirikan dengan meminta bantuan kepada para pawang, dukun-dukun, makhluk-makhluk halus, penunggu-penunggu tempat keramat dan benda-benda lain yang disakralkan. Sejatinya bertobat dan meminta perlindungan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala, malah meminta kepada makhluk yang untuk menolong diri mereka sendiri pun, mereka tidak mampu.
Wallâhul Musta’ân wa ilaihil musytaka ( Al Fikrah No.20 Tahun XI/20 Dzulqa’dah 1431 H)
No comments:
Post a Comment